Selasa, Januari 27th, 2009


(Artikel berikut dikutip dari Kompas.Com, 17 Desember 2008)

child-n-strangers2

Komunikasi hangat dan terbuka adalah syarat utama saat hendak menanamkan sikap kehati-hatian, agar anak terhindar dari kejahatan. Dengan begitu, orangtua bisa melakukan pengawasan, bahkan mengambil langkah yang diperlukan. Nah, berikut ini beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua untuk mengajarkan kewaspadaan atau sikap kehati-hatian pada anak:

1. Jelaskan, wajah/perilaku ramah tak selalu berarti baik
Umumnya, anak usia sekolah dapat diajak berpikir logis, sehingga dia bisa dibekali rambu-rambu agar mewaspadai orang yang berinteraksi dengannya. Hanya saja, di usia sekolah awal kemampuan berpikir anak masih konkret. Jadi, jika melihat wajah yang ramah, anak segera menganggap orang itu baik. Karena itu, ajarkan tak semua orang yang penampilannya rapi dan tampangnya ramah benar-benar bermaksud baik. Demikian pula sebaliknya.

2. Beri tahu batasan perilaku boleh dan tidak
Anak perlu tahu, batasan perilaku dan sikap yang boleh dan tidak dilakukan seseorang terhadap dirinya, baik orang asing maupun orang yang sudah dikenal dekat. Misalnya, orang itu tidak boleh memegang bagian tubuh tertentu si anak. Katakan, tubuhnya merupakan sesuatu yang berharga dan perlu dijaga. Tidak ada orang lain yang boleh memegangnya. Demikian juga saat orang dewasa mencoba memeluknya. Sebaiknya anak menghindar atau segera melepaskan pelukannya.

3. Ajarkan anak menghadapi orang asing
Pada dasarnya, anak tidak dilarang berinteraksi dengan orang asing,melainkan perlu adanya kehati-hatian. Bertegur sapa, misalnya, boleh-boleh saja dilakukan pada orang yang tak dikenal. Lain halnya jika orang itu bertanya lebih lanjut mengenai diri dan identitas anak seperti rumah, orangtua, dan lain-lain, sebaiknya ajari anak untuk tidak menjawabnya secara detail. Selain itu, anak perlu melaporkan pada pihak sekolah maupun orang dewasa jika ada orang asing yang mencurigakan.

4. Jangan izinkan anak menerima pemberian apa pun dari orang lain
Bila seseorang menawarkan sesuatu, apakah itu makanan, minuman atau barang tertentu, hendaknya ajarkan untuk menolaknya dengan sopan. Kalaupun anak merasa terpaksa menerimanya, sebaiknya tidak segera mengonsumsinya. Laporkan pada pihak sekolah atau orangtua mengenai pemberian tersebut. Siapa tahu makanan atau minuman itu membahayakan.

5. Ingatkan anak agar tak mudah terbujuk rayu
Agar tidak curiga, bisa saja seseorang yang bermaksud jahat melakukan pendekatan dalam waktu lama pada anak, sehingga saat anak sudah akrab, orang tersebut mulai menjalankan jurus-jurusnya. Jadi, tetap ingatkan anak agar berhati-hati bila ada orang yang mengajaknya pergi ke suatu tempat, meski orang tersebut sudah dikenalnya.

6. Belajar dari pengalaman teman
Bila teman anak pernah menjadi korban kejahatan, tak ada salahnya diceritakan pada anak. Cerita itu biasanya akan mudah diingat. Bahaslah kejadian tersebut bersama anak, termasuk bagaimana bila anak menghadapi situasi tersebut, apa saja yang perlu dilakukan, dan sebagainya. Umpamanya, kasus anak SD ketagihan narkoba. Jelaskan hikmah yang didapat anak dari cerita itu, misalnya tidak segera mengonsumsi dan langsung melapor jika diberi sesuatu oleh seseorang.

7. Ceritakan lewat buku
Ajaklah anak mengenali dunia lain di sekitarnya. Contoh, ketika diajak ke pasar dan bertemu anak jalanan, ceritakan tentang anak jalanan, mengapa bisa seperti itu, bagiamana anak harus bersikap pada anak-anak tersebut, serta perilaku apa yang mesti diwaspadai dari orang-orang asing yang berada di jalanan. Cerita orangtua akan memberikan sudut pandang beragam. Pengetahuan anak pun jadi bertambah luas mengenai kehidupan di sekitarnya.

Kejahatan pada anak usia sekolah seolah menjadi santapan pembaca media sehari-hari. Mulai dari kasus penculikan, pelecehan seksual, hingga narkoba. Celakanya, semua kejadian itu banyak yang membuat orangtua “parno” sehingga mereka pun berlomba-lomba memproteksi pergaulan anak. Pergi dan pulang sekolah diantar jemput mobil pribadi, pergi ke luar rumah dibatasi bahkan kalau perlu dilarang, membekali anak telepon genggam lalu berkali-kali menelepon menanyakan keberadaan anak, dan berbagai sikap overprotective lainnya.

Adalah hal wajar jika orangtua ingin menghindarkan anak dari kejahatan, tetapi tindakan “sterilisasi” sebaiknya ditinjau kembali. Bukan apa-apa, lingkungan anak usia sekolah sudah lebih luas. Tindakan mengerangkeng anak tidak hanya menumpulkan kecerdasan sosialnya, tapi juga membuatnya tidak percaya pada lingkungannya.

Anak akan melihat lingkungan luar rumahnya sebagai tempat menyeramkan dan tak aman. Selanjutnya akan tertanam pada diri anak rasa curiga dan tak percaya pada lingkungan, selain kemampuan berbagi, toleransi, peduli, empati, dan sebagainya tidak berkembang dengan baik.

Lagipula, anak yang disterilkan dari lingkungan luar rumah bukan berarti tidak berisiko tinggi menjadi korban kejahatan. Ingat, pelaku kejahatan tidak hanya orang asing, tapi juga orang yang sudah dikenal dekat. Tukang ojek langganan antarjemput sekolah, sopir pribadi, bahkan teman-temannya sendiri di sekolah. Celakanya, karena dikenal dekat dan akrab, orangtua tidak terlalu menaruh curiga. Lain halnya jika anak berinteraksi dengan orang asing, orangtua langsung pasang rambu-rambu, “Hati-hati dengan orang yang baru dikenal, ya!”

adi, yang harus dilakukan bukanlah “memenjarakan” anak, melainkan mengajarkan sikap kehati-hatian atau waspada. Itu berlaku bagi orang asing ataupun orang yang sudah dikenalnya. Ibaratnya, bila kita mempunyai rumah di dekat sungai, bukan melarang anak bermain di sungai, melainkan harus mengajarinya berenang. Orangtua perlu membekali anak untuk bisa menjaga keselamatan dirinya. Dengan cara itu, anak sudah memiliki tameng saat berinteraksi dengan lingkungan, di mana lingkungan yang dihadapinya tidak selalu steril dan aman.

(Tulisan dikutip dari : Kompas.Com, 17 Desember 2008)